IG'Plasm

Thursday, December 15, 2011

Development of Alfalfa (Medicago sativa) Plants in Indonesia


By Ahmad Suhendra
Alfalfa is a legume crops are widely grown in the world that contain minerals, vitamins, crude fiber and high protein. Early cut alfalfa (late bud, early bloom stage) may vary from 16 % to 20% crude protein. Even late cut alfalfa will contain 12 % to 15% crude protein. Fiber content of alfalfa hays range from 20 to 28%. In contrast, the average grass hay averages 8.4% crude protein and 31.4% fiber.....

Intended for readers from Indonesia, please.........
Tanaman alfalfa adalah tanaman legum semusim. yang banyak ditanam secara luas di seluruh dunia dengan kandungan mineral, vitamin dan serat kasar serta protein yang tinggi. Kandungan protein kasar (crude protein) saat akhir  kuncup atau tahap awal bunga mekar dapat bervariasi antara 16 % - 20%, bahkan pada akhir pembungaan ( awal terbentuk polong) masih berisi protein kasar antara 12 % -15% dan kandungan Serat  dari jerami ( hays) alfalfa antara 20-28%. Sementara rumput umumnya hanya mengandung sekitar  8,4% protein kasar dan serat 31,4%. Sehingga tanaman ini merupakan salah satu hijauan pakan ternak ruminansia yang paling lengkap kandungan nutrisinya. Disamping itu juga tanaman alfalfa dapat tumbuh hampir pada semua jenis tanah dan yang paling baik pada jenis tanah yang bertekstur sandy loam, silt loam dan clay loam. Akar tananaman alfalfa memiliki bintil akar yang berisi bakteri rhizobium yang dapat mengikat nitrogen ( Nitrogen Fiksasi ) dari udara dan juga akar yang panjang tertancap kedalam tanah, sehingga memudahkan tanaman untuk mencari sumber air dan unsur hara terutama pada lahan kering yang jumlah nya cukup besar di Indonesia yaitu lahan kering berupa tanah jenis Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2003)

Produksi tanaman alfalfa di Indonesia sudah dikembangkan dan sebahagian besar ada di Pulau Jawa, yaitu sekitar 200 hektar pertanaman alfalfa yang tersebar terutama di Boyolali, Jepara, Tegal, Semarang dan sebagian Cirebon (Kompas, Selasa 22 Agustus 2006), akan tetapi semuanya itu lebih banyak pada seputar peningkatan produktivitas.

Informasi budidaya untuk produksi biji, khususnya di Indonesia saat ini masih belum tersedia. Hal ini dikarenakan oleh karakteristik dari proses pembijian tanaman alfalfa cenderung tidak mudah dan kurang mampu memberikan produksi biji dalam jumlah besar. Sulitnya memproduksi biji Alfalfa karena tanaman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi. Tercatat bahwa perubahan faktor ekologi, mampu memberikan pengaruh terhadap proses pembijian sampai 57%. Selain itu secara alami proses pembijian alfalfa sangat susah terjadi, mengingat hampir 80-90% dari tanaman alfalfa mengalami cross-fertlized, yang artinya biji tidak akan terbentuk sebelum bunga dapat dibuahi oleh serbuk sari dari bunga lain (Derchseid and Warlstorm, 1991). Proses pembijian akan lebih efektif dengan bantuan lebah, yang berfungsi memecah selaput pada benang sari. Temperatur yang tinggi dan kelembapan rendah merupakan kondisi ekologi yang paling baik untuk menarik lebah madu melakukan polinasi. Pada kondisi seperti ini, nektar bunga yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan kondisi kelmbapan tinggi/temperature rendah. Jenis lebah tipe wild bees, merupakan polinator yang kurang baik. Karena tidak dapat hadir dalam jumlah besar dan kurang mampu mempolinasi bunga. (Derchseid and Warlstorm, 1991).

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas saran dan komentar anda
Thank you, ... for suggestions and comments